Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait a.s.
|
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap
dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan
penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan
Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh
dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti
Rasulullah adalah 12 orang.[6]
Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama
lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi
a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal
tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai
kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat
tersebut dan mengatakan: ”Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar,
kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada
konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam
Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan”[8].
Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat
bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan
tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang
menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang
para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka
berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari
jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga
mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di
mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik
dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih
Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13]
dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]
Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat
ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan
dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini merupakan
sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah
dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep
kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak
bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh
kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya,
sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah
cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di
masa depan.
Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang
disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para Imam dua belas dan
tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya
fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini
bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan
dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap
selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang”.
Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh
Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq
(personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]
Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:
”Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama
ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini
(agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu”.
Jabir berkata: “Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku
dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah
menjawab semuanya dari bangsa Quraisy.”[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu
Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan
dari Muhammad ibn Rafi’e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan
riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah
ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis
tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau
kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi’ah maupun
Ahli Sunnah.[19]
Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah
tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan
memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan
maksud Rasul saw. darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan
tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut
adalah;
-
1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
-
2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).
Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati
dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis
maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah
meyakini teori khilafah dan menolak teori pelantikan serta membangun
sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka
tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama,
dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan
dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar
yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi
yang tak terelakkan.
Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara
ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan
tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan
ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas
orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang dari sekedar jumlah
dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata
khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka Ahli
Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak
legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka
kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah
disinggung oleh Rasulullah saw.
Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau
pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn
Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam
Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]
Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa’
Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan
keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh
Umar ibn Abdul Aziz[21].
Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab
Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, mereka
adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan
keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik.
Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan
Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia
menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari
Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh
Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang
diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan,
bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]
Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: “Sedangkan jumlah
khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu
Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari
mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat
pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn
Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul
Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang
terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan
paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah
agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah
terjadi”.[23]
Nurbasyti mengatakan: ”Cara terbaik memaknai hadis
ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada
dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan
tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis
adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam
Al-Mirqat”.[24]
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah
khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan
padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi
tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut
penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem
kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih
lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti
Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat
dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari
orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam
memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa
yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai
bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya
dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan
madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka
tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir
futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi
mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam
mengenai setiap pribadi dua belas imam.”[26]
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut
memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan
mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan
mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri.
Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas
khalifah, khalifah kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga
hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi
kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap
khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari
nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa
kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir
gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada
lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa
beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama
ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada,
dunia akan hancur lebur.”[27]
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia
belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah
ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama berkembang pesat,
seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah.
Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan
menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi Ahli Sunnah,
sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya,
menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka
semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah kekacauan yang
dahsyat.”[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu kegalauan
dan kemelut, maka ini seharusnya tidak terjadi sampai masa Umar ibn
Abdul Aziz. Sejarah juga mencatat, tidak ada cobaan dan fitnah, kemelut
yang sangat dahsyat, kekacauan antara hak dan batil yang lebih besar
dari tampilnya Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Ini berarti
bahwa maksud dari al-maraj ialah kegalauan terbesar dan kemelut akbar.
Dan boleh jadi maksudnya adalah ditinggalkannya agama secara total. Tak
syak lagi, kekacauan ini tidak akan terjadi kecuali saat Hari
Kebangkitan telah dekat; yaitu kekacauan yang didahu-lui oleh kemakmuran
yang dibawa oleh Imam Mahdi a.s.
Kemudian, apa maksud mereka memasukkan para raja ke
dalam kategori khalifah kaum muslimin, padahal telah diriwayatkan oleh
Ahli Sunnah dari Sa’ad ibn Abi Waqash; satu dari sepuluh sahabat pemberi
harapan dan seorang juru runding yang telah ditentukan oleh Umar, bahwa
ia pernah menemui Muawiyah setelah, sementara ia juga orang yang
terlambat berbaiat kepadanya, dan berkata: ”Salam sejahtera kepada
rajaku!” Muawiyah menjawab: “Kenapa bukan orang lain? Kalian adalah
hamba yang mukmin, dan akulah Amiril Mukminin kalian”. “Memang demikian
kalau kita menerimanya, dan kita juga disebut sebagai orang-orang yang
beriman, hanya saja kami tidak mengangkatmu sebagai Amirul Mukminin”.
Aisyah juga telah menolak klaim Muawiyah sebagai
khalifah. Begitu pula Ibnu Abbas dan Imam Hasan a.s. melakukan hal yang
sama. Bahkan, setelah perdamaian beliau dengannya,[29] Muawiyah adalah
satu dari sekian manusia zalim yang disepakati umat, karena sabda nabi:
”Wahai Ammar! kamu akan dibunuh oleh golongan yang zalim”.
Kami juga tidak memahami kenapa orang zalim menjadi
khalifah Rasul saw. atas umat Islam?! Lalu, apa maksud mereka
memasuk-masukkan anak Muawiyah; Yazid yang secara terbuka menyatakan
maksiat dan kezaliman-nya, menginjak-injak kehormatan dan hukum Allah
swt.?! Ini adalah hal yang sangat mengherankan sekali; bagaimana mungkin
kaum muslimin menerima orang yang telah menumpahkan darah Ahlul Bait
Nabi saw., orang yang bala tentaranya menghancurkan kota Madinah
Munawwarah dan membantai sekitar sepuluh ribu penduduknya sehingga tidak
tersisa lagi pejuang perang Badar setelah tragedi “Al-Hirrah”, lalu
tetap saja diperkenalkan sebagai khalifah Rasulullah saw.?! Dan
begitulah halnya dengan para penguasa yang menurut Al-Quran sebagai
pohon yang terlaknat.
Rasulullah juga pernah melihat mereka dalam
mimpinya?dan kita ketahui mimpi para nabi itu benar dan jujur sejujur
sinar surya di pagi hari?bahwa mereka (pohon terkutuk tersebut) akan
bertengger dan bergelantungan di mimbar beliau layaknya monyet-monyet.
Demikian ini sesuai pendapat mayoritas ahli tafsir dari Ahli Sunnah,
yaitu ketika mereka menafsirkan ayat ke-60 dari surat Al-Isra’, tanpa
perlu dibawakan redaksi pernyataan mereka secara detail.
Dengan demikian, akan tampak jelas bagi kita tiga poin penting dan jelas berikut ini:
-
a. Kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas orang imam.
-
b. Faktor dan motif politis yang memaksa dan mengarahkan Ahli Sunnah kepada tafsir tersebut.
-
c. Kebenaran tafsir teologis yang menjelaskan pelantikan Rasulullah saw. atas dua belas imam kaum muslimin. Tafsir ini bersandar pada dalil logis, quranik serta hadis yang banyak sekali dan sering kita jumpai dalam pusaka ajaran para imam, yang kuno maupun yang terbaru, di berbagai bidang tafsir, hadis, kalam dan sejarah.
Selain itu, sejarah tetap bersikeras bahwa dua belas
imam dari Ahlul Bait a.s. adalah manifestasi tunggal yang tak
terbantahkan dari hadis tersebut, walaupun hanya melalui pengakuan
tegas. Mereka diawali oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tahlib a.s. dan
diakhiri oleh Imam Zaman, Al-Mahdi Al-Muntadzar a.s.
Dalam hal ini, telah banyak hadis mulia yang tak
terhitung jumlahnya, yang menunjukkan manifestasi tersebut. Di sini,
kami akan menyebutkan satu di antara hadis-hadis itu, yaitu sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Al-Juwaini As-Syafi’i dalam kitab Faraidus
Samthain, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw.; beliau bersabda:
”Aku adalah penghulu para nabi, dan Ali ibn Abi
Thalib penghulu para washi (khalifah), dan washi-washi setelahku
berjumlah dua belas; yang pertama Ali ibn Abi Thalib, dan yang terakhir
Al-Mahdi.”[30]
Atas dasar ini, sebagian para peneliti[31]
mengasumsikan bahwa apa yang telah tertera dalam kitab-kitab hadis?yang
menyebutkan bahwa tatkala Jabir ibn Samarah tidak mendengar dan tidak
memahami sabda Nabi saw. kemudian bertanya kepada ayahnya yang segera
memberi jawaban, bahwa Rasulullah bersabda: ”Semuanya dari bangsa
Quraisy”?telah mengalami tahrif dan penyensoran terhadap jawaban sang
ayah. Demikian pula, sebagian riwayat telah membongkar sebab
ketaktegasan jawaban tersebut, misalnya; “Lantas kaum muslimin yang
hadir di sana gaduh dan berbicara satu sama lain”, atau “Orang-orang
berteriak”, atau “Rasulullah mengatakan sesuatu yang membuat manusia
hingga menulikan telingaku”, atau “Kemudian manusia berteriak sehingga
aku tidak mendengar yang disab-dakan Nabi”, atau “Manusia bertakbir dan
berteriak”, atau “Tiba-tiba orang-orang berdiri dan duduk”.
Semua sebab-sebab ketaktegasan jawaban itu tidak
sesuai dengan apa yang didengar oleh perawi, karena penetapan
kepemimpinan pada bangsa Quraisy adalah pernyataan yang mudah dan tidak
perlu diteriakkan dan diherankan. Maka dari itu, apa yang sesuai dengan
kondisi yang kita gambarkan dalam riwayat ialah bahwa kepemimpinan ilahi
itu adalah kewenangan kelompok tertentu, bukan pada bangsa Quraisy
secara umum. Inilah yang telah dibawakan oleh Al-Qanduzi dalam kitab
Yanabiul Mawaddah. Di sana, ia menegaskan bahwa kalimat yang disabdakan
oleh Rasulullah saw. menyata-kan bahwa semua pemimpin itu dari Bani
Hasyim.[32]
Maka, tatkala tampak kesalahan tafsir pemberitaan
futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas imam dari satu sisi, dan
tampak kebenaran tafsir teologis dari sisi kedua, serta tampak nama
Al-Mahdi dalam silsilah dua belas imam Ahlul Bait a.s. sebagai Imam
Kedua Belas yang dengannya Allah swt. memperbaiki dunia setelah
kehancurannya dari sisi ketiga, tentu tidak ada keraguan lagi mengenai
validitas konsep Mahdiisme yang ditekankan oleh mazhab Ahlul Bait a.s.
lantaran adanya relasi yang sangat erat antara prinsip Imamah Dua Belas
Imam dan konsep Mahdiisme; di mana relasi ini memperlihatkan tiga poin
di atas itu dari dalam konsep Mahdiisme.
Sesungguhnya kegagalan tafsir futuralistik atas
prinsip Imamah Dua Belas Imam berarti juga kegagalan tafsir demikian
ini atas konsep Mahdiisme, sebagaimana kebenaran acuan politis pada
tafsir ini mengenai prinsip Imamah Dua Belas Imam merupakan kebenaran
acuan tersebut sekaitan dengan konsep Mahdiisme. Sebab, selain kalangan
Ahli Sunnah memandang hadis ‘Khilafah Itsna Asyariyah’ sebagai
pemberitaan masa depan berdasarkan teori Saqifah dan Khilafah serta
legalitasnya, mereka juga memandang perlunya meletakkan konsep Mahdiisme
dalam kerangka tafsir futuralistik sebagai upaya menghindari
konsekuensi dari hak kepemimpinan Ahlul Bait a.s. dan dari ilegalitas
sistem khilafah.
Tentu sebaliknya juga benar, bahwa terbuktinya
kebenaran tafsir teologis atas hadis ‘Imamah Itsna Asyariyah’ berarti
juga terbuktinya kebenaran muatan teologis dari konsep Mahdiisme.[]
[1] Lihat Mu’jam Imam Mahdi a.s., juz 1 hadis-hadis Nabi saw.
[2] Musnad Imam Ahmad juz 1, hal. 84, hadis ke-646
dan Ibnu Abi Syaibah juz 8 hal. 678, kitab ke-40, bab 2, hadis ke-90,
Ibnu Majah dan Naim ibn Hamad di dalam fitnah-fitnah tentang Imam Ali
a.s. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Imam Mahdi dari kami Ahlul
bait di mana Allah akan menyiapkan segalanya dalam semalam”. Lihat Sunan
Ibnu Majah 2/ 1367, hadis ke-4085, Al- Hawi lil fatawa, karya
As-Suyuthi: 2/213, 215. Di sana juga disebutkan, bahwa Ahmad dan Ibnu
Abi Syaibah dan Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ali a.s. dari Nabi saw.;
beliau bersabda: “Jika zaman sudah tak tersisa lagi kecuali satu hari
saja, maka Allah akan mengutus seorang hambanya dari Ahlul baitku yang
akan memenuhi dunia ini dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh
kezaliman dan kelaliman.” Lihat Shahih Sunan al- Mustafa 2/207. Lihat
juga Mu’jam Hadis Imam Mahdi: 1/147 dan setelahnya, di mana telah
dinukil riwayat yang begitu banyak dari kitab-kitab Ash-Shihah dan
musnad dengan kandungan seperti ini.
Lihat juga Ensiklopedia Imam Mahdi a.s. karya Mahdi
Faqih Imani, juz pertama. Di sana terdapat penukilan dari puluhan
kitab-kitab ulama Ahli Sunnah dan para Ahlul Hadis tentang Imam Mahdi
a.s. dan sifat-sifatnya dan apa yang berkaitan dengannya, di sana juga
terdapat artikel yang telah dikopi dari keterangan Syeikh Al-‘Ibad
tentang hadis-hadis yang dan karya-karya ihwal Imam Mahdi a.s.
[3] Al-Hawi lil fatawa, Jalaludin As-Suyuthi; juz 2
hal. 214, dia berkata: “Abu Daud, Ibnu Majah, Thabrani, dan Hakim dari
Ummi Salamah; beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Mahdi dari Itrahku dari keturunan Fatimah.” Lihat Sahih Sunanul
Musthafa, karya Abi Daud: juz 2 hal. 208, dan Sunan Ibnu Majah: juz
2/1378 hadis ke-4086.
[4] ‘Hadisul Mahdi min Durriyatil Husain a.s.,
sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber berikut ini, juga dinukil oleh
Mu’jam Hadis Mahdi, dan itu 40 hadis dari Abu Nu’aim, Al-Isfahani
sebagaimana disebutkan oleh ‘Aqdu Ad-Durar, Muqaddisi Syafii. Thabrani
juga meriwayatkan dalam Al-Ausath seperti yang dinukil al-Manarul Munif
karya Ibnu Qayyim, dan di Sirah Halabiyah juz 1 hal. 193, dan di Al-Qaul
Al-Mukhtashar, Ibnu Hajar Al-Haitsami. Lihat Muntakhabaul Atsar, Syeikh
Luthfullah Ash-Shafi tentang apa yang ia nukil dari kitab-kitab Syi’ah.
Lihat pula dalil-dalil kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa beliau
dari keturunan Imam Hasan a.s., kitab Sayyid Al-‘Amidi, Difa’ ‘Anil
Kafi; juz 1, hal. 296.
[5] Lihat riwayat yang menandaskan bahwa beliau
keturunan ke-tujuh dari Imam Husain a.s. di Yanabi’ul Mawaddah,
Al-Qanduzi Al-Hanafi, hal. 492, Maqtalul Imam Husain as Kharazmi juz 1
hal. 196, Faraidu Simthain Juwaini Syafii; juz 2 halaman 310-315,
hadis-hadis dari 561-569, lihat pula Muntakhabul Atsar karya Ash-Shafi,
di saat ia meriwayatkan dari dua jalur.
[7] Hadis “Para pengganti setelahku berjumlah dua
belas orang, kesemuanya dari bangsa Quraisy”, atau hadis “Agama ini
senan-tiasa akan langgeng dengan keberadaan 12 pemimpin yang berasal
dari suku Quraisy” adalah mutawatir, dan diriwayatkan oleh kitab-kitab
Shahih dan Musnad dengan berbagai jalan, kendati terdapat perbedaan
sedikit dari sisi kandungannya. Memang mereka berbeda pendapat dalam
penafsirannya dan tampak kebingungan. Lihat Sahih Bukhari; juz 9, hal.
101, Kitabul Ahkam – bab ‘Al-Istikhlaf’, Sahih Muslim juz 6, halaman 4
kitab ‘Al-Imarah’, bab ‘Al-Istikhlaf’, Musnad Ahmad juz 5 hal. 90, 93
dan 97.
[8] Lihat Al-Gaibah Kubra, Sayyid Shadr: hal. 272, dan seterusnya.
[9] Lihat At-Tajul Jami’ lil Ushul: juz 3 halaman 40. dia berkata
[10] Shahih Bukhari, jild 3: 9/101, kitab ‘Al-Ahkam, bab Al-Istikhlaf’, cetakan Dar- Ihya’ Turats Al-Arabi, Beirut.
[11] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[12] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[13] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[14] Musnad Ahmad; 6/ 99 hadis ke 20359.
[15] Al-Musatadrak: 3/ 618.
[16] Hal ini sesuai dengan firman Allah:”dia tidak
pernah berbicara atas dasar hawa nafsu, akan tetapi wahyu semat”.
An-Najm 3-4.
[17] Para ulama merasa kebingungan dalam menerapkan
hadis tersebut, dan apa yang mereka bawakan dari person-person tidak
dapat diterima, bahkan sebagian tidak masuk akal sama sekali seperti
dimasuk-masukkannya Yazid putra Muawiyah orang yang terang-terangan
melakukan kemaksiatan dan kefasikan, orang yang divonis sebagai murtad,
kafir atau mereka yang selevel dengannya.
[18] Sahih Muslim: 6 / 3 kitab ‘Al-Imarah’.
[19] Lihat Sahih Bukhari 4: 164, kitab Al-Ahkam, bab
Istiklaf, Musnad Ahmad: 6/94, hadis ke-325, 20366, 20367, 20416, 20443,
20503, 20534, Sunan Abi Daud 4:107 4279-4280, Al-Mu’jamul Kabir,
Thabrani : 2/238/1996, Sunan Tirmizi: 4/501, Mustadrak Hakim : 3/618,
Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim: 4/333, Fathul Bari: 13/211, Syarah Sahih
Muslim karya Nawawi: 12/201, Al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir: 1/153,
Tafsir Ibnu Katsir: 2/24 –dalam menafsirkan ayat ke-12 dari surat
Al-Maidah, kitab Suluk fi Duali Muluk, Al-Maqrizi: 1/13–15 pada bagian
pertama, Syarah Hafiz Ibnu Qayim Jauzi atas Sunan Ibnu Daud: 11/363,
Syahrul Hadis 4259, Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah: 2/736, Al-Hawi lil
Fatawa, As-Suyuti: 2/85, ‘Aunul Ma’bud, Syarh Abi Daud, Al-‘Adhim Abadi:
11/362, Syarhul Hadis 4259, Misykatl Mashabih, At-Tabrizi: 3/327, 5983,
As-Silsilatu Sahihah, Al-Albani, hadis ke-376, Kanzul Ummal: 12/32,
33484 dan 12/33/33858 dan 12/34/33861. Hadis ini juga diriwayatkan oleh
para tokoh hadis Syi’ah. Di antara mereka adalah Syeikh Shaduq ra. dalam
Kamaluddin, 1:172, Al-Khishal, 2:469 dan 475, dan telah diperiksa
jalur-jalur hadis ini secara cermat, di mana para perawinya dari
kalangan sahabat yang disebutkan dalam Ihqaqul Haq: 13/1-50.
[20] Tafsir Al-Quran Karim, Ibnu Kasir: 2/34, saat menafsirkan ayat ke 12 dari surah Maidah.
[21] Syarhul Aqidah Thahawiyah, Qadhi Damaskus: 2 / 736.
[22] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/246, pada pen-jelasan hadis 427, kitab ‘Al-Mahdi’, cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.
[23] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud:11/245.
[24] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/244.
[25] As-Suluk lima’rifati Dualil Muluk: 1 / 13-15 bagian pertama.
[26] Al-Hawi lil Fatawa: 2/85.
[27] Kanzul Ummal: 12.34, hadis ke-33861, diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas.
[28] Kanzul Ummal: 12 / 32, hadis 32848.
[29] Lihat Al-Ghadir, Allamah Amini: 1/ 26-27.
[30] Faraidus Samthain: 2/313, hadis ke-564.
[31] Al-Ghadir wa Mu’aridhun, Sayyid Ja’far Murtadha Al-‘Amili:70-72.
[32] Yanabi’ul Mawaddah: 3/104, bab 77.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar